Friday, September 30, 2005

Kaum Pembela

Kaum Pembela

Baca judulnya udah ketebak neh arah pembicaraan kita pasti ke “pengacara”, tapi maksud gw bukan pembela yang beracara di pengadilan, tapi ke orang² yang akhir² ini ngaku sebagai pembela, entah itu ngakunya pembela rakyat, pembela agama atau apapun istilah yang mereka pakai.

Nggak tau mulai dari kapan bermunculan ide² seperti ini, sepertinya jaman sekarang semuanya punya pembela, seakan-akan dunia ini penuh dengan kaum yang berkuasa yang siap untuk menindas yang lemah, sehingga hampir segala sesuatunya itu butuh untuk di bela.
Bukan hanya manusianya, tapi sudah lebih berkembang lagi pembelaan itu terhadap pekerjaan, agama, sosial nya dan hal² yang sampai² nggak masuk di akal lagi.

Aneh nya para pembela ini semakin saja bermunculan, apa ini suatu trend?

Yang keluar batasnya ... kadang kaum ini bertindak mengatasnamakan suatu komunitas sosial yang sama sekali tidak ada license dari komunitas tersebut.
Sebenarnya hal ini sudah sangat meresahkan (menurut saya), tokh kita nggak perlu nunggu dulu akibat² fatal yang bakal terjadi nantinya, kita kan bisa membatasi sejauh mana mereka bisa mengatasnamakan suatu komunitas sosial tanpa harus bertindak brutal dan diberi kelonggaran karena mereka membawa nama suatu komunitas sosial besar.

Ujung² nya kita jadi bertanya² ... kemana seh para penegak hukum kita? Kok jadi orang² yang nggak berkompeten yang nangani masalah² sosial di masyarakat?
Siapa seh sebenarnya yang harus di bela? Ukuran nya bagaimana sampai sesuatu itu harus mendapat pembelaan, kalaupun ada organisasi tentang “pembelaan” terhadap sesuatu hal ... organisasi itu juga kan perlu izin (secara tertulis) untuk melakukan aksi nya (begitu kan seharusnya?).

Kenyataan nya? .... nggak seperti itu, sangat² jauh dari ideal nya, walaupun memang ada organisasi yang betul² membela komunitas nya dan juga legal.

Mudah²an ini Cuma sekedar TREND yang hidup Cuma dalam hitungan 1 digit tahun. Kalau misalnya ini bukan sekedar trend? Maka siap² saja kita akan terkotak².

Wednesday, September 28, 2005

Buat apa menulis?

Buat apa menulis?

Menulis tentang kejadian yang kita alami se hari² (seperti nulis diary) kebanyakan orang menganggap hal itu kampungan (lol) atau nggak orang itu pastinya cengeng atau nggak orang itu kewanitaan (emang nya ada kata kewanitaan? Lol)…. ha ha ha ha ha.

Coba deh perhatikan di dunia nyata, berapa orang cowok seh yang punya diary? Walaupun bukan untuk curhat doang, tapi ... jarang banget orang mau menuliskan kisah hidup nya diatas kertas.

Nggak tau kenapa, tapi dari segi agama malah memberikan contoh sama kita untuk rajin menulis, bahkan kisah² yang umurnya udah ribuan tahun bisa kita baca kembali karena ada yang mau menulis nya.

Kalau seumpama kita nggak mulai mendokumentasikan kejadian² sekarang dengan menulis, trus kira² neh, apa jadinya anak cucu kita di 300 tahun mendatang?
Mungkin mereka nggak bakal tau lagi apa yang kita lakukan sekarang, seperti tau nya kita apa yang nenek moyang kita kerjakan pada jaman Nabi dulu.

Atau mungkin salah satu faktor yang membuat kita menulis adalah Privacy, sepertinya nggak pantas kalau kita menceritakan apa yang terjadi dengan diri kita kepada orang asing.

Kemaren ... gw sempat liatin blog gw sama temen, tanggapan nya? Blog gw ga dilihat sama dia hahahahaha, gw senewen dong, tapi pass gw inget hal diatas gw langsung berpikir kalau temen gw tuh salah satu dari orang yang gw maksud diatas.

Hmmm, heran yah, kalau di luar negeri sana, orang bisa kaya karena menulis doang, padahal yang ditulisnya hal² yang simple, kata orang kita mah “sepele” seperti : “bagaimana membangkitkan semangat untuk hidup” atau “membuat keluarga lebih erat dengan puding hati lapis kaca” hahahahaha.

Maksud gw gini lho..., dengan menulis kita bisa lebih jujur, lebih berani, lebih kreatif, lebih aman, pokoknya lebih banyak  bicara secara lisan, dengan menulis kita diajarin mendetail, berpikir sebelum memperlihatkan tulisan kita ke orang lain, gampang di hapus kalau menurut kita kata itu akan menyinggung perasaan orang lain, lebih ekspresif karena kita bisa menggunakan kata² yang tidak bisa di ungkapkan dengan mimik.

Sekarang tanya diri anda sendiri ... Buat apa menulis?

Wednesday, September 14, 2005

Hari Duka



INNALILAHI WAINNAILLAHI ROJIUN, Turut berduka cita atas meninggal dunia Ibu dari saudara dan sahabat Yadi, semoga arwah beliau di terima di sisi Allah SWT, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan.

Amin.

Kaget … reaksi gw pertama waktu di kabarin kalo Ibu nya Yadi sudah meninggal dunia, kok ga ada kabar dari Yadi kalau Ibu nya sakit. Nggak mikir banyak lagi, gw langsung brangkat ke rumahnya saat itu juga.
Suasana berduka .. sedikit sekali terlihat disitu, mungkin karena banyak faktor, nggak tau apa yang terlintas di pikiran Yadi saat itu, gw juga nggak mau membuat suasana menjadi semakin berduka.

Yang pasti saat ini gw merasa begitu dekat dengan kematian dan begitu rapat dengan kehidupan, waktu gw pendek, umur gw terbatas, sudah seharusnya gw lakuin hal² yang bermanfaat sebelum semua waktu nya habis.

Wednesday, September 07, 2005

Pendidikan

Pasti sekolah formal yang pertama terbersit kalo dengerin tentang kata pendidikan, padahal hal itu bukan hal yang utama walaupun selalu jadi hal yang pertama (bukan nya ga penting), gw pengen ngomongin ini kerna tadi gw ngebahas masalah ini di rumah sama adik gw (udah punya anak 1 umur 1 tahun 3 bulan) sama kakak sepupu gw (punya anak 4 yang paling gede SMU kelas I).

Bahasannya tentang membentuk moral anak, walaupun tanpa psikolog, udstaz ataupun guru sekalian … tapi kita coba lihat sisi² yang bisa kita terapkan di lingkungan keluarga kita sendiri.

Apapun itu yang kita bahas … pasti adalah yang paling ideal nya dalam memberikan pendidikan moral terhadap anak, tapi kembali melihat kebudayaan turun temurun … se akan² apa yang kita bahas itu adalah sama dengan memindahkan sebuah gunung ketempat datar LOL.

Bukan nya pesimis, berhenti sebentar dan mengatur strategi bukan berarti kalah, berhenti sebentar untuk mempelajari situasi bukannya menyerah, kita bertiga tahu, hal ini bukan hal yang gampang, bukan Cuma sekedar naluri orang tua yang di andalkan, bukan sekedar teori pendidikan dan pengalaman yang kita terapkan, tapi terlebih pada keberanian dan tekad untuk betul² melaksanakan apa yang kita putuskan sebagai hal yang terbaik untuk pendidikan anak.

Walaupun gw blon berkeluarga … apalagi punya anak LOL, tapi dengan tinggal bersama dengan saudara² gw yang rata² udah punya anak, mau nggak mau gw ikut juga dalam hal mendidik anak² mereka.

Gw punya ponakan umur 4 tahun lebih (namanya PUTRI), merengek minta uang seribuan sama ibu nya, setelah ditanya dia mo beli apa … jawabannya dia harus bayar utang karena tadi udah ngambil jajanan di warung saudara saya yang bersebelahan rumah.

Oh ... My … God, itu anak umur 4 tahun udah ngerti cara berutang? Gw sampe bengong nge dengerin nya, nggak cukup sampai disitu, entah berapa hari kemudian, saya dapatin dia di warung saudara saya itu sambil ngomong “tante … saya utang dulu, nanti kalo ibu saya pulang dari kantor… baru di bayar” katanya sama saudara gw.

Gw tungguin saudara gw (Ibu nya Putri) trus gw deketin, gw bilang “non … tadi ketemu Putri di warung sebelah dia nya ngutang jajanan” pelan² gw omongin “gw Cuma heran aja, anak se kecil itu kok sudah tau berutang, gw Cuma takut aja kalau pola pikir nya terbentuk kalau …. Dengan cara berutang smua nya bisa di beli” kelihatan banget kakak gw udah mulai berang “kalo misalnya kamu ga ada duit, jangan bilang ke dia kalau sebaiknya dia ngutang aja dulu di sebelah, ajarkan kalau dia harus prihatin ke orangtua karena nggak ada duit, bukan apa² … kalo umur 4 tahun udah biasa berutang … gimana umur 40 tahunnya?”

Kakak gw bilang “udah gw bilangin ke Putri tapi dasar anak nya aja gitu, yang namanya anak suka nggak tegaan kita kalau harus mukul”

See it? Ternyata naluri, pengalaman dan pendidikan formal tidak sepenuh nya bisa membantu kita dalam menerapkan pendidikan moral terhadap anak, kakak gw tuh S1 lho, adik gw S2, tapi bukan itu ukurannya, gw belum jadi orangtua, gw belum punya pegalaman punya anak, pendidikan formal gw Cuma sebatas SMU, tapi gw lebih konsen dan peduli sama yang namanya pendidikan moral anak², dan yang lebih penting … gw bilang ke saudara gw di warung sebelah ... kalau Putri ngutang lagi … jangan dikasih, kerna belum ngerti sepenuhnya apa itu yang namanya “UTANG”.

Buktinya … saudara gw yang punya warung tuh nerimanya fine² aja, dia malah lebih suka di bayar cash daripada harus ada yang ngutang, nagih nya susah katanya LOL.

Masih banyak sih yang mo gw ceritain tentang pendidikan seperti ini, mungkin kali waktu gw tambahin tulisan gw tentang pendidikan yang kek gini.

Foto dari http://i1.trekearth.com/photos/12279/aku_anak_indo.jpg Copyright: bimo wiratnanto

Sebagian cerita tentang saya, separuh ... tidak banyak.
Buat Semua ... untuk saya tinggalkan jejak jejak, sebagai tanda pergantian zaman